Oleh: Beniharmoni Harefa.
Panitia Seleksi (Pansel) yang dibentuk Presiden berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 54/ P Tahun 2019 tentang Pembentukan Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Masa Jabatan Tahun 2019-2023, hampir merampungkan tugasnya. Tim terdiri dari Yenti Garnasih selaku ketua dan Indriyanto Senoadji sebagai wakil ketua. Anggotanya terdiri dari Harkristuti Harkrisnowo, Marcus Priyo Gunarto, Hamdi Moeloek, Diani Sadia Wati, Mualimin Abdi, Hendardi, dan Al Araf.
Pansel dibentuk dengan tujuan menghasilkan calon komisioner KPK yang berintegritas, kredibel dan independen. Pemerintah membentuk panitia seleksi sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Pasal 30 ayat 2 UU a quo menegaskan “untuk melancarkan pemilihan dan penentuan calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, pemerintah membentuk panitia seleksi”
Selanjutnya dalam Pasal 30 ayat 3 ditegaskan bahwa “panitia seleksi terdiri dari unsur pemerintah dan unsur masyarakat” Panitia seleksi dibentuk agar dapat bekerja secara independen dalam menyeleksi calon komisioner KPK. Oleh sebab itu pansel harus berisikan orang-orang berintegritas dan memiliki semangat pemberantasan korupsi. Pansel diharapkan steril dari kepentingan-kepentingan yang dapat menghambat pemberantasan korupsi di Negeri ini.
Calon yang Lolos Dipersoalkan
Setelah melakukan berbagai tahap seleksi, akhirnya Pansel menyerahkan 10 nama calon pimpinan KPK kepada Presiden. Alexander Marwata (Komisioner KPK), Firli Bauri (Anggota Polri), I Nyoman Wara (Auditor), Johanes Tanak (Jaksa), Lili Pintauli Siregar (Advokat), Luthfi Jayadi (Dosen/ Akademisi), Nawawi Pomolango (Hakim), Nurul Gufron (Dosen/ Akademisi), Roby Arya (PNS Sekretariat Kabinet), Sigit Danang Joy (PNS Kementerian Keuangan).
Sejumlah pihak mempersoalkan integritas, kredibilitas dan komitmen pemberantasan korupsi dari beberapa calon yang diajukan pansel. Pasalnya, ada beberapa nama yang diajukan tidak sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi dan memiliki latar belakang yang kurang baik dalam hal pemberantasan korupsi.
Calon yang diajukan oleh Pansel, juga dianggap bukan unsur antikorupsi. Kritik-kritik dari beberapa pegiat antikorupsi terus disuarakan untuk mempertanyakan kredibiltas Pansel yang meloloskan beberapa calon yang bermasalah. Sebab menjadi komisioner KPK harus memili latar belakang yang bersih dan jauh dari isu-isu yang tidak sejalan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi serta harus memahami persoalan KPK secara utuh.
Tantangan KPK ke Depan
Vishnu Juwono dalam buku Melawan Korupsi-Sejarah Pemberantasan Korupsi di Indonesia 1945-2014 menyimpulkan, hambatan dan perlawanan kelompok kepentingan dan badan penegak hukum dalam agenda pemberantasan korupsi menunjukkan bahwa struktur sosial, politik, dan ekonomi yang ingin menyuburkan korupsi sebagian besar masih utuh.
Perlawanan terhadap KPK dan gerakan antikorupsi masih nyata hadir di Indonesia. Kehadiran KPK dianggap mengguncang kemapaman dan kenyamana para pejabat-pejabat korup, sehingga gagasan memandulkan KPK secara politik ataupun melalui intimidasi terhadap para tokohnya selalu saja muncul.
Tantangan kedua yang harus dihadapi calon komisioner KPK ke depan, datang dari dalam internal KPK sendiri. Calon komisioner mempunyai pekerjaan yang tidak mudah yaitu untuk mengonsolidasikan KPK antara komisioner dan pegawai KPK. Masa jabatan komisioner yang hanya empat tahun berhadapan dengan eksistensi pegawai KPK yang lebih lama. Belakangan, sering terjadi pergulatan internal yang bisa berpotensi melemahkan KPK sebagai lembaga.
Misalnya, pada april 2019 yang lalu, sebanyak 42 penyidik KPK dari Polri menandatangani surat pernyataan protes terkait dengan mekanisme pengangkatan penyelidik menjadi penyidik tanpa tes. Mekanisme ini dianggap tidak sesuai dengan Peraturan Pimpinan KPK Nomor 1 Tahun 2019 tentang Penataan Karir di KPK. Para penyidik menduga mekanisme penggangkatan ini sarat kepentingan dari oknum pegawai internal yang ingin mengurangi jumlah penyidik dari Polri di KPK. Persoalan internal ini berpotensi akan menguras banyak energi dan pada akhirnya hanya akan melemahkan KPK.
Oleh sebab itu dukungan dari para elit politik dan seluruh pihak termasuk masyarakat terhadap KPK harus kuat. Perlawanan terhadap KPK yang dilakukan oleh sejumlah pejabat korup dan mafia-mafia pro korupsi, masih terus subur dan akan terus dilakukan. Hal ini akan memperlemah KPK, sehingga KPK tidak akan pernah memberantas korupsi secara komprehensif dan menyeluruh. Energi KPK akan banyak terkuras untuk menghadapi serangan-serangan para elit-elit korup, sehingga elit politik dan masyarakat pro pemberantasan korupsi, harus terus memberikan dukungan pada KPK.
Presiden Harus Peka
Nama-nama calon pimpinan KPK saat ini sudah di meja Presiden. Tugas dan tantangan yang dihadapi KPK ke depan semakin berat baik yang datang dari luar (eksternal) maupun dari dalam (internal) KPK sendiri, sehingga diharapkan Presiden lebih peka, membaca persoalan mendasar di KPK. Dalam situasi itulah, kita menyarankan pemerintah, khususnya Presiden Joko Widodo, untuk kembali mengkaji ke sepuluh calon Pimpinan KPK yang telah diajukan Pansel.
Pimpinan KPK bertugas sebagai garda terdepan mempimpin pemberantasan tindak pidana korupsi empat tahun ke depan. Apabila integritas, kredibilitas dan komitmen pimpinan KPK masih dipertanyakan, maka rasanya berat untuk melakukan pemberantasan korupsi. Apabila ada kesamaan tujuan untuk membangunan Indonesia bebas korupsi, maka Presiden tidak akan membiarkan calon-calon bermasalah lolos sebagai pimpinan KPK periode 2019-2023.***
Penulis, Dosen Hukum Pidana FH UPN “Veteran” Jakarta.
Sumber : Harian Analisa