Pidana Delik Diskriminasi Rasial

hukum_pidana.jpg

oleh dr beniharmoni harefa

Nemo prudens punit quia peccatum est, sed ne peccetur,” kata Sen­eca, seorang filsuf Romawi. Ungkapan ini berarti, tidak seorang pun dapat dipidana ka­rena telah melakukan kejahat­an. Tetapi, seseorang dipidana agar tidak lagi terjadi kejahatan. Perbuatan pidana diskriminasi ras yang diduga terjadi di Sura­baya dan Malang, telah memicu unjuk rasa di Jayapura, Manok­wari, dan Sorong, bahkan berak­hir ricuh.

Sejumlah pihak menyesalkan, perbuatan diskriminasi yang se­harusnya tidak perlu terjadi itu. Sebab ini terjadi di tengah upaya semua pihak mengeratkan kem­bali serta mengokohkan persa­tuan bangsa, pascapilpres yang juga sempat menggoncangkan kesatuan bangsa.

Pascakerusuhan, sejumlah fasilitas publik dibakar massa. Mereka protes karena men­jadi korban diskriminasi rasial orang-orang tidak bertanggung jawab. Aktivitas ekonomi sempat lumpuh. Kegiatan belajar meng­ajar dan kantor pemerintahan diliburkan. Bahkan, kericuhan juga menjalar ke Fakfak dan Ti­mika.

Pertanyaan penting pas­cakerusahan, apa sanksi pidana bagi pelaku penyebar ujaran kebencian, diskriminasi rasial, serta pengaturannya?

Secara umum, diskriminasi merupakan pembedaan per­lakuan terhadap sesama warga berdasarkan warna kulit, go­longan, suku, ekonomi, agama, dan sebagainya. Dalam hukum pidana, pengaturan terkait dis­kriminasi ras ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pi­dana (KUHP) terkait perbuatan menyatakan rasa permusuhan, kebencian, dan penghinaan ke­pada golongan penduduk.

Hal itu diatur dalam Pa­sal 156, “Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pi­dana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus ru­piah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau bebera­pa bagian lainnya ka­rena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebang­saan atau kedudukan menurut hukum tata Ne­gara”.

Pasal 157 Ayat (1) KUHP mengatur, “Barang siapa meny­iarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum, yang isinya mengandung pernyataan perasaan per­musuhan, kebencian atau penghinaan diantara atau terhadap golongan-go­longan rakyat Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam de­ngan pidana penjara paling lama dua tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat rupiah lima ratus rupiah.”

Bahkan diskriminasi rasial secara global sudah diatur dalam International Convention on The Elimi­nation of all Forms of Racial Discrimination 1965 yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU Nomor 29 Ta­hun 1999 tentang Penge­sahan Konvensi Internasio­nal tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial. Selanjutnya untuk menjamin tidak terjadi kon­flik dan diskriminasi, Indo­nesia membentuk UU No­mor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Dalam Pasal 16 ditentu­kan “Setiap orang yang de­ngan sengaja menunjukkan ke­bencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskrim­inasi ras dan etnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 1, angka 2, atau angka 3, dipidana dengan pidana pen­jara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak 500 juta rupiah.” Sanksi pidana ber­dasarkan UU Nomor 40 Tahun 2008 ini lebih berat dari KUHP.

Pasal 28 Ayat 2 UU ITE men­jelaskan pelaku kejatahan ras, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuh­an individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasar­kan atas suku, agama, ras, dan antargolongan.” Pasal 45 Ayat 2 menegaskan sanksi pelaku ke­jahatan ras dihukum penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak satu juta rupiah.

Saat ini memang tidak da­pat dimungkiri, paradigma hukum pidana telah bergeser dari retributif yang menekan­kan pembalasan ke pende­katan korektif, rehabilitative, dan restoratif. Korektif artinya mengoreksi pelaku agar menya­dari kesalahan, meminta maaf dan tidak mengulangi kejahat­an tersebut. Rehabilitatif lebih pada memperbaiki pelaku serta restoratif memulihkan kembali ke keadaan semula.

Dipertahankan

Dalam delik diskriminasi rasial, sanksi pidana tetap di­atur dalam delik. Bahkan dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (RUUHP) pun tetap diatur delik diskriminasi ras, terkait penghinaan golong­an penduduk. Secara umum, RUUHP masih mempertahan­kan kontruksi rumusan perbu­atan penghinaan terhadap go­longan penduduk seperti dalam KUHP Pasal 156 dan 157. Pasal tersebut ditempatkan dalam Bab V mengenai Tindak Pidana Terhadap Ketertiban Umum. Ini dikelompokkan bersama tindak pidana penghinaan terhadap simbol negara dan pemerin­tahan.

Draf RUUHP memuat dua pasal mengenai tindak pidana penghinaan terhadap golong­an penduduk (250 dan 251). Pasal 250 menegaskan, penja­hat rasial dihukum paling lama tiga penjara. Pasal 251 meng­atur yang menyiarkan, mem­pertunjukkan, atau menempel­kan tulisan atau gambar atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar umum … dipidana penjara paling lama 4 tahun.

Bahkan dalam paragraf 4 RUU tersebut mengatur se­cara khusus tindak pidana atas dasar diskriminasi (pasal 252 dan 253). Pasal 252 berbunyi, “Setiap orang yang melakukan pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan et­nis yang mengakibatkan pen­cabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan atau pelaksanaan hak asasi ma­nusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bi­dang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun.”

Indonesia menganggap delik diskriminasi ras dan etnis tetap penting untuk di­atur bahkan dalam RUUHP dibuat pasal tersendiri untuk menjamin tak ada konflik dan diskriminasi. Hal ini penting karena Indonesia terdiri dari berbagai suku, agama, etnis, dan ras. Memang, sanksi pi­dana pada delik tersebut untuk lebih bersifat koreksi, rehabili­tasi, dan pemulihan keadaan yang sempat terganggu.

Larangan diskriminasi ras yang telah diatur secara je­las dan tegas dalam berbagai perundang-undangan bertu­juan menghindari perpecahan bangsa yang dapat mengan­cam Kesatuan Negara Repu­blik Indonesia.

Aparat penegak hukum ha­rus bertindak tegas dan tun­tas dalam menangani berbagai konflik diskriminasi ras. Tentu­nya, penegakan harus berdasar paradigma hukum pidana mo­dern. Kini pengusutan tidak lagi hanya menenekankan pembala­san atau pencegahan seperti disampaikan Seneca. Namun, lebih menekankan pada pende­katan korektif, rehabilitatif, serta restoratif demi NKRI berdasar­kan Pancasila dan UUD 1945.

Penulis Dosen Hukum Pi­dana UPN Veteran Jakarta

 

Sumber : Koran Jakarta

http://www.koran-jakarta.com/pidana-delik-diskriminasi-rasial/

 

Berita Sebelumnya

Ciptakan Wirausaha Muda, Kemenpora dan UPNVJ Gelar Kuliah Kewirausahaan Pemuda 2019

Berita Selanjutnya

Dosen FK UPN Veteran Jakarta Raih Award Young Scientist 2019 dari FAOBMB