HumasUPNVJ - Berikut artikel hasil pemikiran dosen hukum pidana Fakultas Hukum UPNVJ terkait polemik pembebasan napi di masa covid 19.
Dilansir dari laman thecolumnist.id, melalui Salus populi supreme lex, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Postulat itu memiliki kedalaman makna, bahwa keselamatan rakyat merupakan hal yang terpenting, sehingga hukum (kebijakan) yang diambil haruslah berdasarkan kepentingan rakyat.
Hal tersebut menjadi perenungan penting, ketika polemik pembebasan narapidana (napi) terjadi sebagai upaya penanggulangan coronavirus diseases (covid 19). Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) melakukan asimilasi dan pembebasan bersyarat terhadap tiga puluh ribu lebih warga binaan.
Polemikpun terjadi, sebagian menilai pembebasan napi ini tidak akan menyelesaikan masalah di masa pandemi covid 19, justru malah pembebasan ini akan menambah masalah baru. Tidak jarang juga napi yang sudah dibebaskan, malah berulah kembali dengan melakukan tindak pidana. Bahkan pembebasan napi diterpa isu tak sedap, segelintir oknum aparat Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) melakukan pungutan liar (pungli) pada proses pembebasan para napi. Benarkah pembebasan narapidana demi penanggulangan covid 19?
Upaya Preventif
Situasi kepadatan bahkan kelebihan kapasitas (overcapacity), sudah menjadi persoalan klasik menerpa lapas-lapas di Indonesia. Meskipun diakui bahwa Kemenkumham sedang memperbaiki dan membenahi persoalan tersebut, namun hal ini menjadi alasan utama yang harus dipahami publik, demi mencegah penyebaran covid 19.
Meski lapas tertutup sehingga akses untuk masuknya virus sangat kecil kemungkinan, namun harus diingat bahwa virus tersebut masuk dari berbagai pintu. Semisal pegawai lapas yang pulang ke rumah, di perjalanan dapat saja terkena dan menjadi perantara untuk menularkan pada yang lain.
Menjaga jarak di dalam lapas menjadi hal yang mustahil, mengingat padatnya para warga binaan. Sehingga apabila satu orang dinyatakan positif covid, dapat dipastikan seluruh warga binaan akan tertular. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa kasus penyebaran covid 19, di suatu lembaga yang tertutup.
Penyebaran covid di Asrama STBBI Bethel Petamburan misalnya, berawal dari satu orang positif, kemudian menularkan pada mahasiswa lainnya. Demikian pula halnya di Lembaga Pendidikan (Lemdik) Sekolah Pembentukan Perwira (Setukpa) Polri di Sukabumi. Lebih dari 300 orang siswa Lemdik dinyatakan positif corona, yang awalnya bermula dari satu orang lalu menularkan kepada ratusan siswa yang lain.
Sehingga suatu alasan yang rasional ketika para napi dibebaskan demi mencegah penyebaran covid 19. Meski pembebasan ini tetap memiliki syarat, yakni untuk asimilasi narapidana sudah menjalani setengah dari masa pidananya. Untuk pembebasan bersyarat telah menjalani masa pidananya paling singkat 2/3 dari hukumannya.
Hal ini diatur melalui Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020. Pemberian asimilasi dan pembebasan beryarat dilakukan terhadap narapidana yang melakukan tindak pidana umum selain tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan HAM berat, kejahatan transnasional terorganisasi serta warga negara asing.
Pidana Yang Memulihkan
Saat ini memang tidak dapat dimungkiri, bahwa paradigma hukum pidana telah bergeser dari yang semula retributif atau menekankan pada pembalasan, sekarang lebih menekankan pada pendekatan korektif, rehabilitatif dan restoratif. Korektif artinya memberikan koreksi pada pelaku agar menyadari kesalahan yang dilakukan, meminta maaf dan tindak mengulangi kembali kejahatan tersebut. Rehabilitatif lebih kepada memperbaiki pelaku serta restoratif artinya memulihkan kembali ke keadaan semula (restutio in integrum), dimana keadaan sempat terganggu akibat terjadinya kejahatan.
Asimilasi dan pembebasan bersyarat demi penanggulangan covid 19, sebenarnya sejalan dengan paradigma hukum pidana yang baru, dimana lebih menekankan pada pendekatan korektif, rehabilitatif dan restoratif. Penegasan ini dapat kita lihat dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Pidana penjara menjadi pilihan terakhir dan lebih mengutamakan pidana pengawasan, pidana kerja sosial dan pidana denda sebagai pidana pokok bagi setiap orang yang melakukan kejahatan.
Pemulihan menjadi kunci utama dalam paradigma hukum pidana modern. Hal ini menjadi salah satu alasan bahwa penjara bukan lagi tempat yang harus menjadi pilihan utama ketika seseorang yang melakukan kejahatan. Sayangnya, RUU KUHP masih dalam proses pengesahan di Dewan Perawakilan Rakyat (DPR), sehingga saat ini pidana penjara akan tetap menjadi pilihan primadona aparat penegak hukum, dalam menjatuhkan hukuman bagi orang yang dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana. Asimilasi dan pembebasan bersyarat ini dapat dikaitkan sebagai pidana yang memulihkan, selain dari dari sisi kemanusiaan mencegah para napi tertular virus corona yang mematikan.
Optimalisasi Pengawasan
Meskipun tidak dimungkiri kebijakan membebaskan napi ini memiliki beberapa kelemahan, diantaranya lemahnya pengawasan yang dilakukan terhadap para napi yang menjalani asimilasi dan pembebasan bersyarat. Namun pengawasan ini dapat dibantu dengan menjalin kerjasama dengan para lurah, kepala desa dan aparat kepolisian di daerah-daerah. Kemenkumham melalui kantor wilayah (Kanwil) sebaiknya mengoptimalkan kerjasama dengan para stakeholders (pemangku kepentingan) di daerah, sehingga meminimalisir napi yang dibebaskan mengulang kembali tindak pidananya.
Asimilasi dan pembebasan bersyarat ini juga akan berdampak pada penghematan anggaran dimana pembiayaan kebutuhan napi selama berada dilapas dapat dikurangi. Pembebasan ini juga sejalan dengan paradigma hukum pidana modern yang lebih kepada pendekatan pidana pemulihan. Sehingga dapat ditegaskan bahwa kebijakan pembebasan napi dilakukan demi penanggulangan serta memutus mata rantai penyebaran covid 19, karena keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.