Yudhi Nugraha, Kepala Pusat Kajian Regenerative FK UPNVJ: Jika Vaksin Corona Tak Kunjung Ditemukan

yudhi_nugraha.jpg

HumasUPNVJ - Dilansir dari laman detiknews.com, Berdasarkan data WHO pada 15 Mei 2020 dengan judul Draft landscape of Covid-19 candidate vaccines setidaknya ada delapan kandidat vaksin untuk Covid-19 yang paling potensial berhasil dikembangkan saat ini. Kedelapan vaksin tersebut berasal di Amerika Serikat, China, Jerman, dan Inggris. Selain itu, kandidat vaksin yang memasuki tahap uji pra klinis lebih kurang sebanyak 110 vaksin dari berbagai negara.

Amerika Serikat melalui NIH sebagai pusat penelitian terbaik dunia telah menggelontorkan dana penelitian hingga 42 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 618,4 triliun untuk pengembangan vaksin yang sedang dibutuhkan dunia saat ini. Dana tersebut salah satunya telah dialirkan 500 juta dolar ke raksasa farmasi Moderna Inc.

Moderna berhasil mengembangkan vaksin Covid-19 yang pertama kali diuji klinis tahap pertama kepada delapan relawan di Amerika Serikat pada Maret 2020. Vaksin ini selanjutnya akan diuji pada Fase 2 untuk melihat efektivitas lebih lanjut dan penentuan dosis kerjanya dan selanjutnya dijadwalkan dicoba pada Fase 3 pada Juli 2020.

Selain dengan Moderna, NIH juga bekerja sama dengan perusahaan farmasi asal Prancis, Sanofi dengan tujuan besar yang sama melawan Covid-19. Meskipun kerja sama tersebut melahirkan kontroversi yang didasari oleh rasa nasionalisme riset orang Amerika Serikat.

China melalui Sinovac Biotech-nya mengklaim telah berhasil menguji vaksin Covid-19 pada monyet sebagai hewan uji dan akan berencana melanjutkan uji pada manusia. Sinovac Biotech bahkan dengan serius berencana membangun perluasan perusahaannya, khusus untuk vaksin ini di atas lahan 70 ribu meter persegi di Beijing.

Selain Sinovac, perusahaan China lain seperti CanSino Biologics juga mengembangkan vaksin Covid-19 berdasarkan pengalaman dan jenis vaksin yang sama dengan vaksin yang dikembangkan untuk memberantas virus paling mematikan di dunia sebelumnya, Ebola.

Perusahaan farmasi Jerman Biontech bekerja sama dengan perusahaan raksasa farmasi Amerika Serikat, Pfizer mengembangkan vaksin RNA untuk Covid-19. Penelitian ini disokong oleh aturan pemerintah Jerman yang mengesahkan aturan uji klinis untuk manusia yang rencananya akan diberikan pada 200 relawan dengan rentang usia 18-55 tahun.

Sementara itu, vaksin yang dikembangkan oleh Universitas Oxford, Inggris hasilnya sempat diragukan dan disebut hanya akan memberikan perlindungan yang parsial. Namun pengembangan vaksin ini akan terus dilakukan ke manusia dengan target relawan sebanyak 10.260 orang.

Indonesia sendiri melalui Lembaga Biologi Molekuler Eijkmen berencana mengembangkan vaksin Covid-19 dengan jenis vaksin rekombinan. Lembaga yang dipimpin oleh Prof Amin Subandrio tersebut juga telah berhasil memetakan Genome SARS-CoV2 yang salah satu manfaatnya adalah untuk pengembangan vaksin

Berbagai negara telah menerapkan pembatasan aktivitas umum dengan potensi penularan Covid-19. Negara-negara yang sudah memiliki kurva pandemi yang melandai juga harus berhati-hati dengan adanya gelombang kedua. Vaksin merupakan satu-satunya harapan untuk menyelesaikan pandemi yang ditemukan akhir Desember 2019 dan menyebar sejak awal 2020 ini.

Setidaknya butuh waktu 12-18 bulan untuk menemukan vaksin terhitung sejak ditemukannya suatu virus baru. Pengembangan vaksin, seperti juga penelitian lain, tidak ada satu orang pun yang dapat menjamin dapat berhasil dan efektif. Pada hitungan matematis, untuk menghentikan persebaran suatu pandemi dibutuhkan minimal 60-70% dari komunitas manusia yang divaksin.

Namun, apa yang akan terjadi jika vaksin tidak ditemukan? Jika keadaan buruk ini terjadi, maka dibutuhkan banyak manusia untuk terkena Covid-19 hingga memiliki imunitas. Orang-rang yang terkena inilah yang nantinya akan menekan persebaran virus-19 --paham ini dikenal dengan herd immunity. Merupakan ide yang brutal jika skema ini dengan sengaja diimplementasikan oleh negara. Hal ini karena akan mengorbankan banyak nyawa rakyatnya sendiri untuk membentuk sistem imunitas komunal.

Selain itu, herd immunity juga dinilai belum tentu berhasil, karena SARS-CoV2 adalah virus baru yang karakteristiknya belum banyak diketahui termasuk dalam pembentukan sistem imunitas komunal tersebut. Alasan lain karena belum adanya penelitian yang memastikan bahwa orang dengan infeksi kedua SARS-CoV2 memiliki proteksi antibodi spesifik pada sistem imunitasnya.

Hal yang saat ini gandrung diperdengarkan adalah istilah "new normal". Istilah ini awalnya digunakan untuk kondisi ekonomi dan keuangan pascakrisis seperti pada 2007-2008 atau resesi global 2008-2012, dan saat ini digunakan untuk pandemic Covid-19. New normal diartikan sebagai hidup bersih dan sehat sesuai protokol kesehatan untuk menekan persebaran Covid-19 --tanpa pilihan lain. Memang, menjaga jarak, cuci tangan, dan memakai masker adalah hal sederhana yang dapat dilakukan saat ini.

Bahkan jika memang vaksin Covid-19 berhasil ditemukan, mutasi virus akan menjadi masalah baru pada masa depan karena akan menghilangkan efektivitas vaksin yang sudah dibuat. Untuk itu, penelitian vaksin memang seharusnya dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan untuk berpacu dengan perubahan genetik yang terjadi pada virus. Serta, untuk bersiap dengan pandemi yang akan lahir pada masa mendatang dengan memprediksi perubahan-perubahan genetik yang mungkin terjadi.

Evolusi alam raya memang akan terus berjalan dengan proses seleksi alam yang kejam. Dunia selalu menyesuaikan kebutuhannya melalui adaptasi yang tidak bisa ditawar-tawar.

(sumber: https://news.detik.com/kolom/d-5033558/jika-vaksin-corona-tak-kunjung-ditemukan)

Berita Sebelumnya

Pengamat Hukum Pidana Fakultas Hukum UPNVJ Beniharmoni Harefa : Dugaan Korupsi di UNJ Coreng Dunia Pendidikan Tinggi

Berita Selanjutnya

International Webinar FT UPNVJ “Future Energy: Harvesting, Distribution And Saving”, 2020.