HumasUPNVJ - Dalam kegiatan Pemilu setiap warga negara memiliki hak untuk dapat memilih dan juga dipilih yang terjamin dalam undang-undang. Namun kenyataannya pemenuhan hak ini tidak berjalan sebagaimana mestinya terutama di kalangan penyandang disabilitas. Para penyandang disabilitas ini seringkali mengalami diskriminasi dan hambatan-hambatan dalam kegiatan Pemilu.
Adanya beberapa permasalahan terkait kegiatan Pemilu yang dialami oleh penyandang disabilitas ini membuat Fakultas Hukum UPN "Veteran" Jakarta (UPNVJ) lakukan focus group discussion (FGD) dengan Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia DPD Jawa Barat, pada tanggal 4 hingga 5 September lalu.
Kegiatan FGD ini dimulai dengan pemaparan Yusrisman selaku Sekretaris dari PPDI DPD Jawa Barat. Dalam pemaparannya ia mengatakan bahwa regulasi tentang penyandang disabilitas belum ramah terhadap disabilitas hal ini karena dalam proses pembuatannya tidak melibatkan disabilitas. Kemudian terhadap aksesibilitas pemilih disabilitas dalam kegiatan Pemilu juga tidak terorganisir dengan baik seperti tidak ada fasilitas kursi roda, pendampingan dan lokasi TPS yang tidak terlalu tinggi.
Selain itu, Taupiqqurahman dimana ia membicarakan terkait kuota 1% bagi penyandang disabilitas untuk menjadi calon anggota legislatif. Taupiqqurrahman mengatakan bahwa sudah seharusnya ada kuota khusus untuk penyandang disabilitas sebagai calon DPR/DPRD. Semua partai harus ada unsur penyandang disabiltas sebagai Caleg di partai masing-masing.
Diskusi ini ditanggapi anggota PPDI Jawa Barat, ia mengemukakan bahwa saat penyandang disabilitas ingin mencalonkan diri menjadi calon anggota legislatif terdapat beberapa permasalahan seperti infrastruktur yang belum ramah disabilitas, masalah keuangan karena mayoritas penyandang disabilitas berasal dari kalangan menengah ke bawah, serta kurangnya popularitas karena sulit melakukan blusukan.
Hal ini ditanggapi lebih lanjut oleh Rianda Dirkaresha terkait dengan tingkat pendidikan di kalangan penyandang disabilitas. Ia menerangkan bahwa berdasarkan hasil diskusi yang dilakukan dengan PPDI DPC Kota Bogor ditemukan fakta bahwa penyandang disabilitas yang lulusan SMA hanya sebesar 50% serta penyandang disabilitas tunanetra yang dapat membaca menggunakan huruf braille hanya sekitar 13 orang dari total 70 orang penyandang disabilitas tunanetra. Hal ini terjadi karena sulitnya akses penyandang disabilitas untuk memperoleh pendidikan, ditambah tidak semua penyandang disabilitas dapat bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB).
Rendahnya tingkat pendidikan para penyandang disabilitas juga membuat bahwa kuota 1% ini hanya mampu diterapkan pada daerah pemilihan tingkat provinsi dan kota. Melihat SDM penyandang disabilitas yang sulit mengakses pendidikan ini sudah seharusnya pendidikan politik diberikan kepada penyandang disabilitas hal ini bertujuan para penyandang disabilitas ini tetap mengetahui tujuan dan maksud dari kegiatan Pemilu meskipun mereka tidak mengenyam pendidikan yang tinggi.