Fakultas Hukum (FH) Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (UPNVJ) menyelenggarakan konferensi internasional dengan tema "Equity, Social Justice and Rule of Law Across the Sustainable Development Goals" yang digelar secara daring dan luring pada, Jumat (22/4/22).
Dr. Abdul Halim, Dekan Fakultas hukum dalam pembukaannya mengatakan seminar internasional ini bertujuan untuk memberikan pemikiran terkait dengan perkembangan Sustainable Development Goals (SDG) terkhusus pada poin ke-16 yang terkait dengan keadilan, perundang-undangan, dan institusi yang kuat. Dimana UPNVJ diharapkan kedepannya dapat menjadi salah satu institusi yang menunjang perkembangan SDG poin ke 16 ini.
Dalam kesempatan yang luar bias ini, Fakultas Hukum mengundang narasumber salah satunya Valerie Julliand yang merupakan United Nations Representative.
Dalam paparannya Valerie mengatakan Sustainable Development Goals (SDG) 16 berdedikasi untuk menjadikan terciptanya masyarakat yang damai dan inklusif, penyediaan akses keadilan untuk semua, dan membangun lembaga yang efektif dan akuntabel di semua tingkatan.
“Tujuan utama SDG 16 adalah untuk mengakhiri kekerasan, eksploitasi, perdagangan manusia dan segala bentuk kekerasan dan penyiksaan terhadap anak. SDG 16 sangat penting untuk memastikan akuntabilitas, stabilitas, kesetaraan dan akses keadilan bagi semua. Landasan target SDG ini saling bersinggungan dengan SDG lainnya. Tanpa supremasi hukum tidak akan ada aturan atau peraturan tentang lingkungan, kita akan saling mencelakakan, kejahatan terus terjadi, dan lainnya,” jelas Valerie.
Selain Valerie, Dr. K.G.H Laurens Bakker yang merupakan dosen sekaligus seorang peneliti anthropology di University of Amsterdam juga diundang sebagai narasumber.
Dalam hal ini Laurens membandingkan mengenai sifat aturan, dasar hukum yang berbeda, keamanan yang melekat dan konsekuensi sosial yang serupa antara Indonesia dan Belanda.
“Adat dalam Hukum Belanda mengatur bahwa suatu perjanjian tidak hanya menimbulkan akibat hukum oleh para pihak, tetapi juga yang menurut sifat perjanjian itu timbul dari hukum, kebiasaan atau syarat-syarat kewajaran dan keadilan. Di Belanda keberadaan hukum adat lemah dan di Indonesia lebih kuat kedudukannya dalam hukum. Konflik sumber daya alam di Belanda dan Indonesia sama saja antara warga versus negara dan perusahaan serta kepentingan ekonomi nasional. Sementara, referensi ketidakadilan dan referensi HAM sama di Belanda dan Indonesia” jelas Laurens.
Narasumber lainnya, Collie Brown salah satu anggota United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) yang memaparkan bahwa narapidana pada dasarnya menjadi contoh Lembaga terkait transparansi dan tata Kelola yang baik dilihat dari pandangan publik.
“Proses untuk dapat menjadi bagian dari masyarakat yang lebih inklusif diperlukan, maka diciptakan proses rehabilitasi untuk memberikan pelaku kesempatan dalam kembali ke masyarakat. Hubungan sosial di dalam masyarakat dapat membuat sistem peradilan ekonomi dalam suatu negara terasa tidak adil dan diskriminasi” tutur Collie.
Prof. Tim Lindsey Ph.D. yang merupakan Malcolm Smith Professor of Asian Law, Redmond Barry Distinguished Professor, dan Direktur Centre for Indonesian Law, Islam and Society di Sekolah Hukum University of Melbourne yang hadir dalam kesempatan ini juga menyampaikan bahwa, tujuan pembangunan berkelanjutan 16 menyisipkan Keadilan dan institusi yang kuat.
“Ini bukan tujuan yang mudah untuk melampirkan, sedikit negara yang akan dapat sepenuhnya mewujudkan tujuan di Indonesia sebagai kemajuan menuju pencapaian dua aspek ini dari SDG 16. Paling tidak dari nilai-nilai ini termasuk kurangnya perwakilan hukum yang tepat pada pengadilan yang adil seperti penyediaan interpretasi dan masalah lain juga, bahkan jika hukuman klien yang dituduhkan pada hukuman mati adalah kasus yang menyedihkan menimbulkan pertanyaan penting tentang hak atas akses yang sama terhadap keadilan. Jika diperlukan setidaknya perlu adanya pernyataan yang kuat bahwa undang-undang itu dengan hak yang jelas untuk bantuan hukum kepada klien” ujar Prof. Tim Lindsey.