HumasUPNVJ - UPN Veteran Jakarta menyelenggarakan seri enam diskusi Nasional Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang diselenggarakan pada hari Selasa 25 Februari 2020 bertempat di Gedung Auditorium Bhinneka Tunggal Ika Lt. 4.
RUU yang banyak menimbulkan kontroversi ini digelar oleh Himpunan organisasi Alumni PTN Se-Indonesia (HIMPUNI) bekerja sama dengan UPN Veteran Jakarta.
Dalam diskusi tersebut tampil sebagai pembicara Dr. Wicipto Setiadi dari Fakultas Hukum UPN Veteran Jakarta, Prof. Dr. Agus Pramusinto , Ketua Komisi Nasional Aparatur Sipil Negara; Dr. Agus Santoso, staf khusus menteri Koperasi dan UKM dan , Pembicara lainnya adalah Drm Anwar Sanusi.
Diskusi publik tersebut dibuka dengan sambutan dari Wakil Rektor Bidang akademik yang mewakili Rektor UPNVJ. Dalam sambutan tersebut Dr. Antar Venus menyatakan bahwa RUU ini memang menjadi perhatian publik, “Terbukti meskipun RUU ini sangat progresif dan bertujuan memperbaiki iklim investasi, meningkatkan penciptaan lapangan kerja hingga memberikan perlindungan pada buruh, namun penerimaan RUU ini tidak semudah yang dibayangkan. Terjadi polemik antar berbagai pihak yang berkepentingan khususnya pemerintah, pengusaha dan buruh/pekerja. Konflik yang timbul diantaranya mulai dari masalah upah minimum, hak pesangon, perlindungan buruh, hingga kontroversi terkait kewajiban AMDAL”. Jelas Venus
Venus juga berharap semoga diskusi dari para pakar ini dapat memberikan masukan yang berarti bagi kelanjutan pembahasan RUU.
Memulai diskusi, Prof. Agus yang menyoroti RUU tersebut dari perspektif administrasi publik menyatakan bahwa organisasi pemerintah hendaknya bisa bekerja dan mencapai tujuan dengan ruang gerak yang memadai. Jangan sampai aturan yang ada justru membuat pemerintah menjadi sulit untuk bergerak, enggan bekerja dan kehilangan daya dinamis dan inovasinya. Aturan seharus tidak “nyrimpeti” dan membuat ribet tatakelola pemerintahan .
Sementara itu, pembicara yang mewakili UPNVJ , Dr. Wicipto Setiadi memiliki pandangan yang berbeda, “Dalam RUU ini Presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan yang melaksanakan urusan pemerintahan. Dia menilai akan terjadi sentralisasi kekuasaan di pusat pemerintahan, padahal sudah didelegasikan ke kementerian dan daerah, namun yang menjadi urusan pemerintah pusat dalam RUU ini adalah percepatan pelayanan, percepatan perijinan dan pelaksanaan program strategis nasional dan kebijakan pemerintah pusat,” jelas pakar Hukum Tata Negara ini.
Dalam kesempatan tersebut, dia mengulas beberapa pasal antara lain Pasal 23 angka 2 mengenai perubahan Pasal 20 ayat (3) UU Lingkungan Hidup, bahwa persetujuan membuang limbah ke media lingkungan harus mendapat persetujuan Pemerintah Pusat. Menurut Wicipto, akses masyarakat terhadap informasi, partisipasi publik dan keadilan terhadap persetujuan ini berpotensi semakin sulit. Besar potensi persetujuan yang diberikan akan luput mempertimbangkan kondisi khas dan daya dukung serta daya tampung di tiap lokasi.
“Pelaku usaha kecil menengah akan semakin terbebani karena untuk mendapatkan persetujuan harus selalu mengurus ke pusat tanpa memandang besar kecilnya skala risiko usaha,” jelasnya.
Dia juga menyoroti Pasal 23 angka 4 mengenai perubahan Pasal 24 ayat (5) UU Lingkungan Hidup. Izin lingkungan dihilangkan, diganti perizinan berusaha. Dengan demikian, kata dia, semakin sempit akses masyarakat untuk melakukan upaya hukum terhadap keputusan yang berpotensi menimbulkan dampak lingkungan hidup.